Jumat, 01 Oktober 2010

KEMBALI KE KAYU BAKAR

Dalam Implementasi pengelolaan Hutan Lestari aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosial menjadi 3 pilar Utama yang harus menjadi satu kesatuan dalam implementasinya, hal ini telah dilakukan oleh Koperasi Hutan Jaya Lestari melalui Hutan rakyat yang menjadi areal kerjanya.
Sejak tahun 2004 - 2010 KHJL terus berbenah dalam Upaya mewujudkan Model Pengelolaan Hutan lestari berbasis masyarakat.
Dalam perjalanan KHJL mengelola Hutan Lestari juga telah melewati banyak rintangan dan banyak pengalaman berharga yang menurut kami dapat menjadi bahan pembelajaran bagi siapa saja yang berencana melakukan kegiatan pengelolaan Hutan Lestari.
Dalam kurun waktu 6 Tahun isu pengelolaan hutan Lestari telah menjadi bahan pembicaraan para pemangku kepentingan dengan biaya yang tidak sedikit, jika saja ada yang menghitung besaran biaya yang dikeluarkan kemungkinan besar biayanya akan sama dengan 25 kali dari biaya yang telah dikeluarkan untuk membangun KHJL sampai dengan tahun 2010.
Akhir- akhir ini Issue kelangkaan Minyak Tanah dan Gas telah menggiring banyak pihak melakukan tindakan antisipasi dengan menggunakan Kayu / Arang sebagai pengganti Minyak Tanah dan Gas, apalagi akhir-akhir ini Tabung Gas menjadi pembicaraan Utama di berbagai media baik elektronik maupun media cetak sebagai bahan bakar berbahaya atau setara dengan ancaman Teror .

Dalam konteks pengelolaan Hutan Lestari pemanfaatan Limbah kayu / sisa hasil tebangan yang tidak dapat diperjual-belikan sangat berpotensi dijadikan pengganti minyak tanah dan Gas dalam pemenuhan kebutuhan bahan bakar untuk memasak bagi masyarakat pemilik Hutan dan bahkan masyarakat perkotaan pun dapat menjadi konsumen limbah kayu / sisa tebangan, hal ini dapat menjadi peluang pasar bagi pengelola Hutan Lestari di Konawe Selatan dan Sultra pada umumnya, dan dapat menciptakan pembukaan lapangan kerja baru bagi petani pemilik Hutan,serta dapat menciptakan jaringan pemasaran berkelanjutan dan bertanggungjawab.



Rabu, 08 April 2009

“Pengalaman dalam membangun sebuah Koperasi berbasis Masyarakat “

Oleh: Abd. Maal (Wakil Ketua KHJL periode 2008-2011)

Pertengahan Juli 2003, saya memperoleh informasi bahwa Ex Hutan Tanaman Industri dan Reboisasi akan diserahkan pada masyarakat yang berdomisili disekitar kawasan hutan,oleh pemerintah RI melalui Dep. Kehutanan RI. Saya sangat gembira dan sekaligus terharu,betapa tidak potensi hutan saat itu ( 2003 ) terutama tanaman Jati masih belum terjamah oleh tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Pada bulan juli s.d Agustus 2003 Kegiatan Program Social Forestry pun mulai dilaksanakan dimulai dari Pelatihan PRA dan pelatihan RTSF sebagai cikal bakal pengelola Program SF pada Areal Kerja SF. Akhir 2003 PRA pun mulai dilaksanakan pada 46 Desa 4 Kecamatan dan berhasil membentuk pengurus-pengurus kelompok tiap Desa dan Aturan Kelompok . Kegiatan tersebut dilaksanakan Oleh LSM Jauh- Sultra sebagai Konsorsium LSM pemerhati Lingkungan, dan secara kebetulan saya ikut pembahasan aturan main klp dan pembentukan pengurus klp. Dan terpilih sebagai ketua Kelompok SF Desa Aoreo kecamatan Lainea Kab. Konawe Selatan.

Kemudian proses selanjutnya dilaksanakanlah pemetaan Partisipasi bersama masyarakat Desa Aoreo,Tapal batas Desa pun antar Desa Watumeeto dan Lalonggombu disepakati oleh perwakilan-perwakilan masing-masing Desa yang di fasilitasi oleh Jaringan Untuk Hutan bersama BP-Das Sampara.

Selanjutnya disepakati bahwa untuk mendorong Inisiatif bersama ini haruslah berjenjang menunju wilayah Pemerintah. Dan pada akhir 2003 ( Desember ) pertemuan Kecamatan terlaksana dengan menghasilkan Forum Komunikasi Kecamatan, dan khusus kecamatan Lainea tempat tinggal saya berhasl membuat Aturan main tingkat Kecamatan yang intinya bahwa FKK berfungsi sebagai perwakilan kelompok SF dari tiap Desa dalam wialayh Kecamatan. Dan Pengurus Forum Kecamatan terbentuk dengan susunan pengurus : Ketua ,Sekretaris dan Bendahara. Dari Empat Forum kecamatan yang terbentuk selanjutnya pada bulan Maret 2004 dilaksanakan Kegiatan Workshop pada tingkat Kabupaten Konawe Selatan,dan yang menjadi Fokus Workshop pada saat itu Lembaga apa yang pling cocok untuk mengelola Areal Kerja SF, maka peserta Workshop pun dibagi dalam beberapa kelompok untuk membahas hal- hal apa saja yang akan menjadi kebutuhan masa depan terkait dengan AKSF. Workshop ini di fasilitasi oleh LSM Jauh dan dihadiri oleh Bapak Yansen Tangke Tasik sebagai perwakilan DepHut ,sehingga peserta workshop sepakat Membentuk Lembaga Komunikasi Antar Kelompok sebagai Lembaga Pengelola AKSF setelah memperoleh IUPHHK- AKSF seluas 38.595 Ha dengan jumlah calon anggota sebanyak 8.464 KK. Pengurus LKAK pun terbentuk dengan susunan pengurus sbb. Ketua : Abdul Maal Wk. Haris, SP Sekrtaris : Abdul Rahman dan Bendahara Agustan.

Setelah LKAK terbentuk kemudian kami ajukan pada Yansen Tangke Tasik ,dan terjadi diskusi yang alot , karena dalam Aturan pemerintan ttg lembaga ekonomi hanya di kenal BUMN, PT,FIRMA dan KOPERASI. Dan selanjutnya LKAK mengadakan pertemuan pada tanggal 17 Maret Tahun 2004 dengan Agenda “ Membentuk Wadah Pengelola “ AKSF, dengan berbagai saran dan usul dari peserta serta pertimbangan hukum akhirnya Koperasi lah yang menjadi kesepakatan , selanjutnya Nama Koperasi pun menjadi tema Diskusi yang cukup serius dan alot. Dari beberapa Nama yang diusulkan “Koperasi Hutan Jaya Lestari “ disepakati dengan suara Mayoritas.

Pada Tanggal 18 Maret 2004 Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) Resmi menjadi sebuah lembaga Ekonomi yang dipersiapkan sebabagi calon Pemegang IUPHHK-AKSF sebagai Pengelola AKSF dengan Badan Hukum No. 518.15/ DKK/ III/2004.

Setelah koperasi berdiri, hari-hari yang kami lalui dengan melakukan rapat-rapat terkait proses pengajuan ijin SF. Istilahnya pada waktu itu boleh dikatakan tiada hari tanpa pertemuan. Padahal pada waktu itu KHJL belum bisa memberikan sesuatu untuk kebutuhan keluarga kami (istilah kami adalah kerja social), karena belum ada unit usaha/bisnis yang menghasilkan. Semua itu kami jalani tanpa kenal lelah dengan harapan bahwa nantinya Dephut akan memberikan ijin pengelolaan SF. Namun apa boleh buat, sekian lama menunggu tiada kepastian kapan ijin SF akan turun

Program SF mengalami kemandekan karena ketiadaan payung hukum yang jelas dari implementasi kebijakan SF. Dalam masa tersebut, mulailah Tropical Forest Trust (TFT), sebuah lembaga independent internasional yang focus pada kegiatan perdagangan kayu bersertifikat FSC di pasar internasional, menawarkan kepada KHJL untuk terlebih dahulu melakukan pengelolaan hutan jati di tanah milik, sekaligus sebagai ajang pembelajaran untuk mempraktekkan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, sambil menunggu proses perijinan SF selanjutnya. Pada mulanya, kami semua sempat tidak yakin, karena mana mungkin potensi jati di tanah milik memadai untuk dikelola secara lestari. Untuk menjawab keraguan tersebut, maka dilakukan survey potensi jati di lahan anggota dan ternyata setelah dilakukan perhitungan memang layak untuk dilakukan pengelolaan secara berkelanjutan. Akhirnya setelah disampaikan data potensi awal dan terus diberikan pemahaman tentang prospek bisnis kayu bersertifikat FSC oleh pimpinan TFT pada waktu itu yaitu Bapak Nawa Irianto, maka disepakati untuk memulai melakukan pengelolaan hutan jati di tanah milik.

Dalam rangka implementasi pengelolaan hutan jati di tanah milik, TFT dan KHJL menandatangani MoU kerjasama untuk mendapatkan sertifikat FSC. Pada tahap awal pengelolaan hutan jati dilakukan di 12 unit (kurang lebih 14 desa) yang tersebar di 4 Kecamatan (sebelum dimekarkan) dengan jumlah anggota 196 orang. Mulailah kami diberikan pelatihan-pelatihan yang menunjang kegiatan pengelolaan hutan, seperti persemaian jati, inventarisasi, pemeliharaan, penanaman, pengukuran, rencana pemanenan, penentuan JTT, pengoperasian computer, pengelolaan keuangan, system lacak balak, pengawasan dan pengecekan koordinat lahan di peta, dll. Disamping itu kami difasilitasi untuk menyusun standar operasional prosedur dalam setiap tahapan pengelolaan hutan.

Setelah berjalan sekitar 1 tahun dan dinilai KHJL siap untuk di Audit, maka bulan Februari 2005 dilakukan audit FSC oleh lembaga sertifikasi SmartWood pada bulan Februari 2005. Tidak lama kemudian hasil audit tersebut keluar dan KHJL dinyatakan memperoleh sertifikat FSC pada tanggal 20 Mei 2005.

Dengan diterimanya sertifikat FSC oleh KHJL , terjadi kenaikan harga penjualan kayu jati dari KHJL. Kisaran kenaikan tersebut:

· Tahun 2005 harga penjualan KHJL kepada buyer sebesar Rp 3,2 juta/M3 (ukuran 13 cm up)

· Tahun 2006 harga penjualan KHJL kepada buyer naik menjadi rata-rata Rp 5 juta/M3 (ukuran 13 cm up)

· Tahun 2007-2008 harga penjualan KHJL kepada buyer naik menjadi rata-rata Rp 6 juta/M3

KHJL pun meningkatkan harga pembelian kayu jati square dari anggota, dari semula Rp.600.000,- per M3, naik menjadi Rp. 1,445 jt ; dan th 2007-2008 menjadi rata-rata Rp. 1,750.000,-

Disamping itu, adanya sertifikasi FSC di Konsel memberikan efek domino yang bermanfaat antara lain 1) Bagi Pem erintah daerah memperoleh dana Retribusi s.d saat ini Lk rp : 256 juta di Luar Biaya yang dikeluarkan untuk membiayai IPKTM, IPKHH-HR, dan saat ini BAP, 2). Bagi Ekologi : ada peningkatan Jumlah Populasi Tanaman Jati baik Anggota maupun non Anggota, 3). Bagi Sosial : ada perubahan Perilaku masy. Yang dulu sebagai pelaku Illegal menjadi Pelaku Pelestari Hutan

Itulah sekelumit pembelajaran berharga bagi kita semua, bahwasannya masyarakat ternyata mampu mengelola hutan secara lestari, meski dengan segala keterbatasan dan kekurangan. Program SF tidak gagal hanya karena tidak ada implementasi ijin, namun dibalik itu semua ternyata memberikan hikmah bagi kita semua, khususnya pengurus, pengelola dan anggota KHJL untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah diberikan. Coba kita renungkan bahwa meski ijin SF tidak terbit tetapi:

1. KHJL bisa melakukan pengelolaan hutan hak/rakyat sampai sukses mendapat sertifikat FSC

2. KHJL menjadi ajang studi banding banyak pihak terkait pengelolaan hutan jati

3. Pengurus KHJL sering diundang mengikuti kegiatan seminar, wokshop bahkan sebagai nara sumber/pembicara

4. Anggota KHJL memperoleh supporting terhadap penyediaan bibit tanaman kehutanan dan tanaman multi fungsi setiap tahunnya dari berbagai instansi, misalnya BP DAS Sampara

5. Meningkatnya kapasitas SDM pengurus, pengelola, KU dan anggota

6. Dalam faktu dekat, Insya Allah KHJL dipercaya Pemerintah Daerah untuk mengelola HTR di Konawe Selatan

Singkatnya bahwa kesuksesan yang telah diraih KHJL adalah atas berkat Rahmat Allah SWT, kemudian atas dukungan berbagai pihak, antara lain Pendamping kami Tropical Forest Trust (TFT), LSM JAUH yang sehari-hari aktif mendampingi kami, serta pihak lain seperti Komda SF, Dinas Kehutanan Propinsi, Dinas Kehutanan Konsel, Working Group Pemberdayaan, FWI, Telapak, The Samdhana Institute serta semua pihak yang telah membantu dalam proses perijinan IUPHHK HTR dan kemajuan KHJL.

Semoga tulisan ini bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat lain di Indonesia untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan di daerah masing-masing. Ingat, sumberdaya hutan termasuk salah satu ayat-ayat Allah Swt berupa alam semesta yang musti kita kelola dengan baik dan dijaga kelestariannya. TETAP SEMANGAT

/////////////////// Sekian /////////////////////////